SURYA Online, SURABAYA - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Jatim
memperkirakan pada 2014 akan terjadi pelambatan pertumbuhan pada industri ritel modern di Indonesia. Tahun-tahun sebelumnya pertumbuhan mencapai lebih dari 10 persen, namun pada 2014, tingkat pertumbuhannya akan tertekan hingga kisaran delapan persen.
Faktor nilai tukar mata uang menjadi salah satu penyebabnya. Apalagi di awal 2014 dolar AS diperkirakan masih akan memberikan tekanan terhadap Rupiah hingga ke level di atas 12.000 per dolar AS. Sementara tak sedikit produk ritel modern yang komponen bahan bakunya diperoleh melalui impor.
“Banyak produk yang dijual di ritel modern, bahan bakunya dibeli melalui impor. Misalnya saja mie instan, snack, dan biskuit yang bahan dasarnya dari gandum. Nah, gandum ini kan diperoleh dari impor,” kata Ketua Aprindo Jatim, Qomaru Zaman kepada Surya, Jumat (6/12/2013) malam.
Hal tersebut selanjutnya mendorong kenaikan harga jual produk. Bila hal ini tak diiringi dengan peningkatan daya beli masyarakat, pertumbuhan pun pastinya akan terganggu.
Kendati demikian, Qomaru Zaman optimistis masih ada sejumlah peluang yang bisa dimanfaatkan di 2014 mendatang. Di antaranya adalah kenaikan upah minimum, perubahan gaya hidup konsumen, serta momentum pemilu.
“Kenaikan upah minimum akan mendorong daya beli masyarakat. Sedangkan kalau tentang gaya hidup, sekarang ini masyarakat sudah mulai beralih belanja ke tokotoko ritel modern. Sedangkan kaitannya dengan pemilu, Selama masa kampanye, partaipartai peserta pemilu biasanya membagi bagikan makanan sehingga menyebabkan konsumsi tinggi,” urainya.
Lebih lanjut, Aprindo berharap pemerintah sanggup menciptakan suasana yang kondusif untuk mendukung pertumbuhan ritel. Hambatanhambatan seperti perizinan yang berbelitbelit, mestinya mulai dihilangkan.
“Harus disadari juga kalau ritel modern bukan membunuh ritel tradisional, tetapi bisa bersinergi. Sebab kalau ritel modern masuk dan bisa bersinergi dengan tradisional, gairah ekonomi di sekitarnya akan lebih baik,” pungkas dia.
memperkirakan pada 2014 akan terjadi pelambatan pertumbuhan pada industri ritel modern di Indonesia. Tahun-tahun sebelumnya pertumbuhan mencapai lebih dari 10 persen, namun pada 2014, tingkat pertumbuhannya akan tertekan hingga kisaran delapan persen.
Faktor nilai tukar mata uang menjadi salah satu penyebabnya. Apalagi di awal 2014 dolar AS diperkirakan masih akan memberikan tekanan terhadap Rupiah hingga ke level di atas 12.000 per dolar AS. Sementara tak sedikit produk ritel modern yang komponen bahan bakunya diperoleh melalui impor.
“Banyak produk yang dijual di ritel modern, bahan bakunya dibeli melalui impor. Misalnya saja mie instan, snack, dan biskuit yang bahan dasarnya dari gandum. Nah, gandum ini kan diperoleh dari impor,” kata Ketua Aprindo Jatim, Qomaru Zaman kepada Surya, Jumat (6/12/2013) malam.
Hal tersebut selanjutnya mendorong kenaikan harga jual produk. Bila hal ini tak diiringi dengan peningkatan daya beli masyarakat, pertumbuhan pun pastinya akan terganggu.
Kendati demikian, Qomaru Zaman optimistis masih ada sejumlah peluang yang bisa dimanfaatkan di 2014 mendatang. Di antaranya adalah kenaikan upah minimum, perubahan gaya hidup konsumen, serta momentum pemilu.
“Kenaikan upah minimum akan mendorong daya beli masyarakat. Sedangkan kalau tentang gaya hidup, sekarang ini masyarakat sudah mulai beralih belanja ke tokotoko ritel modern. Sedangkan kaitannya dengan pemilu, Selama masa kampanye, partaipartai peserta pemilu biasanya membagi bagikan makanan sehingga menyebabkan konsumsi tinggi,” urainya.
Lebih lanjut, Aprindo berharap pemerintah sanggup menciptakan suasana yang kondusif untuk mendukung pertumbuhan ritel. Hambatanhambatan seperti perizinan yang berbelitbelit, mestinya mulai dihilangkan.
“Harus disadari juga kalau ritel modern bukan membunuh ritel tradisional, tetapi bisa bersinergi. Sebab kalau ritel modern masuk dan bisa bersinergi dengan tradisional, gairah ekonomi di sekitarnya akan lebih baik,” pungkas dia.
0 komentar:
Posting Komentar